Hidayatullah sebagai ormas Islam berbasis kader, selalu concern mentransformasikan nilai nilai agung peradaban Islam melalui warganya di mana pun mereka berada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian ditegaskan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Hidayatullah, Ahmad Tasyrif Amin, dalam kesempatan perbincangan dengan Hidayatullah.or.id disela-sela penutupan acara Sidang Pleno Hidayatullah di Kota Depok, Jawa Barat, Sabtu (23/11/2013).
Sebagai organisasi massa terbuka, jelas Tasyrif, kader Hidayatullah tidak lagi dibatasi oleh teritorial kampus sebagai wadah peragaan ajaran Islam dan profesionalisme karir keseharian.
“Kader Hidayatullah memang tidak bisa semuanya tinggal di dalam kampus. Sejak awal mereka ada yang profesional berkarir misalnya di dunia usaha, birokrat, petani, dai atau muballigh, bahkan mengabdi di masjid masjid sebagai imam atau takmir,” kata Tasyrif.
Dengan begitu di mana pun kader Hidayatullah berada, tegas Tasyrif, mereka dituntut untuk melakukan ekspansi kultural. Dalam artian apa yang sudah diperagakan di kampus-kampus Hidayatullah, hal itu pula yang dibawa ke mana mereka bertugas.
“Ekspansi kultural tidak dibatasi ruang dan waktu. Sampai terlihat bahwa apa yang diperagakan di kampus itu juga terperaga di tempat tugas. Sehingga tidak ada dikotomi antara tinggal di dalam dan di luar kampus, yang penting semua membawa visi yang sama membangun peradaban Islam,” terang lelaki ramah yang lebih karib disapa ustadz ini.
Ustadz Tasyrif menerangkan, pijakan Hidayatullah adalah manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW), bergerak dengan imamah, kemudian alat ukurnya adalah berkomunitas. Komunitas itu, jelas Tasyrif, adalah satu diantaranya bisa diukur adalah membangun sebuah kampus pesantren.
“Disitulah manhaj, imamah, dan disitulah nilai nilai agung ajaran Islam seperti shalat berjamaah, silaturrahim, dan tradisi fastabiqul khairat, bisa ditegakkan dengan baik,” jelasnya.
Berkomunitas dalam sebuah wilayah diterangkan Tasyrif merupakan sebuah proses pengkaderan yang nantinya orang orang yang telah tercerahkan di situ dimasukkan sebagai agen perubahan (the agent of change).
“Dai dai pembangunan ini lalu disebar ke pemukiman-pemukiman yang rawan pendangkalan aqidah, ke daerah-daerah, di mana masyarakat membutuhkan pencerahan,” pungkasnya. (Hidayatullah.or.id)