“Memahami dan Menyikapi Paham Sesat”


Oleh: Dr. Adian Husaini

PADA akhir tahun 2013 lalu, saya mendapatkan undangan untuk memberikan paparan tentang masalah aliran dan paham sesat di depan ratusan peserta Mukernas Persistri, di Bandung. Persistri adalah oragnisasi sayap perempuan dari Ormas Persatuan Islam (Persis), seperti Muslimat NU, Muslimat Dewan Dakwah,  atau Aisyiyah Muhammadiyah. Dalam dialog, para peserta mengungkapkan tentang keresahan mereka tentang merebaknya berbagai aliran dan paham sesat di tengah-tengah masyarakat dan bagaimana cara menanggulanginya.
Acara semacam itu, saya pandang penting, sebab bagi kaum Muslim, memahami yang sesat termasuk hal yang pokok dalam masalah agama. Setiap hari, dalam shalat, mereka wajib berdoa untuk dijauhkan dari jalan orang-orang yang dimurkai Allah (al-maghdhub) dan juga jalan orang-orang yang sesat (al-dhaallin). Jalan yang sesat adalah jalan yang menyimpang dari jalan yang lurus.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah saw dikabarkan pernah menggambar sebuah garis lurus di hadapan pada sahabat beliau.  Nabi berkata bersabda: “Inilah jalan Allah yang lurus” (haadzaa shiraathullaahi mustaqiimaa). Lalu, pada garis lurus itu, beliau menggambar garis yang menyimpang ke kiri dan ke kanan. Beliau katakan:  “haadzihis subul mutafarriqatun; ‘alaa kulli sabiilin minhaa syaithaanun yad’uw ilaihi.” Lalu, beliau membaca ayat al-Quran:  “wa anna hadza shirathiy mustaqiiman fattabi’uuhu wa laa tattabi’u as-subula fatafarraqa bikum ‘an sabiilihi.”
Jadi, setiap Muslim wajib memahami, mana jalan yang lurus (shirathal mustaqim) dan mana jalan yang sesat. Di jalan sesat itulah, kata Nabi saw, ada setan yang selalu berusaha menyeret orang Muslim ke jalan setan, atau jalan sesat itu.  Orang yang sesat ada dua jenis, yakni yang sesat secara sengaja dan yang sesat karena bodoh. “Karena sesungguhnya mereka mendapati bapak-bapak mereka dalam keadaan sesat; lalu mereka sangat tergesa-gesa mengikuti jalan hidup bapak-bapak mereka itu.” (QS ash-Shaffat: 69-70).
Ada juga  orang-orang yang di akhirat dijebloskan ke neraka, karena tersesat hidunya di dunia. Mereka hanya ikut-ikutan secara membabi buta kepada para pemimpin mereka yang sesat. Apapun yang dikatakan dan dikerjakan pemimpinnya diikuti, tanpa mau berpikir dan mencari kebenaran. Penghuni neraka itu berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar.” (QS al-Ahzab: 67-68).
Jadi, ada orang-orang bodoh dan tidak mau menuntut ilmu yang kemudian tersesat, karena hanya ikut-ikutan pada tradisi nenek moyangnya yang juga tersesat. (Lihat, QS az-Zukhruf: 21-23). Mereka tidak mau berpikir dan mencari kebenaran dengan sungguh-sungguh. Padahal, mereka dikaruniai akal untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Manusia-manusia seperti ini pun tak lepas dari azab Allah Subhanahu Wata’ala.
Ayat al-Quran itu menggambarkan, betapa menyesalnya orang-orang bodoh atau orang yang membodohkan dirinya sendiri; hanya ikut-ikutan paham sesat yang dianut pemimpinnya, tanpa mau melakukan kajian kritis. “Dan mereka (penghuni neraka) itu berkata, andaikan kami dulu mau mendengar dan mau berpikir, maka kami tidak akan menjadi penghuni neraka Sa’ir.” (QS al-Mulk: 10).
Di era globalisasi, kita masih saja menyaksikan banyaknya orang pintar dan terkadang juga penguasa, ikut-ikutan suatu paham atau pemikiran seseorang tokoh tanpa membaca dan menelaah pemikirannya. Mereka hanya ikut arus opini. Mereka takut untuk melawan opini yang dikembangkan media massa. Atau mereka justru mungkin sengaja memanfaatkan arus opini untuk kepentingan peningkatan citra di tengah masyarakat. Mereka tidak mau menelaah karya-karya si tokoh dengan serius dan mencermati kelemahan-kelemahan serta kekeliruannya. Kadangkala kebencian sudah ditanamkan terhadap para pemikir yang mengkritisi paham sesat yang dianut tokoh pujaannya.
Jenis kesesatan yang kedua, adalah manusia yang tahu jalan yang benar, tetapi karena godaan hawa nafsu dan kecanggihan tipu daya setan, maka mereka menolak jalan yang benar. Contoh yang jelas adalah kasus Iblis yang menolak perintah Allah karena kesombongan. Iblis adalah contoh utama dalam hal ini. Iblis tahu benar bahwa yang dilakukannya – membangkang perintah Allah SWT – adalah salah. Tapi, karena api kedengkian membakar dirinya, maka ia memilih jalan sesat dengan sadar. Ia berani membangkang perintah Allah karena kesombohan dan kedengkian.
“Fenomena Iblis” ini bisa dengan mudah kita jumpai di era kini. Dan Iblis paham betul, bagaimana cara menyesatkan manusia melalui jalan ini.   Mungkin karena merasa lebih senior, merasa lebih kuasa, merasa lebih kaya, atau merasa lebih pintar, maka seseorang bisa menolak kebenaran yang disampaian padanya.
Begitu banyak jerat-jerat ditabur setan untuk menjerat manusia ke jalan sesat. Karena itu, kiat sederhana untuk selamat dari jalan sesat adalah mengikuti petunjuk Allah SWT. “Lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka.” (QS Thaha: 123).
Kriteria sesat
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas dikenal dengan rumusannya: “Islam is the only genuine revealed religion.”  Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang murni. Agama-agama selain Islam sudah menjadi agama budaya (cultural religion). Sebagai agama wahyu yang murni, Islam memiliki konsep-konsep yang tetap (tsawabit) yang dirumuskan berdasarkan wahyu, dan bukan oleh budaya atau konsensus umat Islam. Islam juga satu-satunya agama yang memiliki “model yang abadi” yang disebut sebagai “uswatun hasanah”.  Karena adanya konsep-konsep yang tsawabit dan dipandu dengan uswatun hasanah yang abadi, maka Islam tetap terjaga keabadiannya sebagai agama wahyu.
Dengan kondisinya seperti itu, maka umat Islam secara umum sangat mudah menentukan mana yang “lurus” dan mana yang “sesat”.  Umat Islam paham mana bagian ajaran shalat yang wajib dikerjakan oleh seluruh kaum muslimin, tanpa khilafiyah di dalamnya. Misalnya, rukun shalat takbiratul ihram, keharusan ruku’, sujud, i’tidal, dan sebagainya. Hal-hal yang “tsawabit” seperti itu adaah merupakan perkara unik dan khas yang hanya ada dalam konsep ritual Islam.  Dengan konsep seperti itu, maka Islam merupakan satu-satunya agama yang diakui keabsahannya oleh Allah SWT. (QS ali Imran:19). Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima oleh Allah dan di akhirat termasuk orang-orang yang ragu. (QS Ali Imran:85).
Konsep Islam sebagai agama wahyu juga mempermudah untuk mementukan mana yang benar dan mana yang salah.  Sebab, kriteria sesat atau tidak ditentukan oleh wahyu, dan bukan oleh budaya. Tanpa dekrit kekuasaan, kaum muslim bisa memahami, bahwa orang yang mengerjakan shalat tanpa sujud, pasti termasuk sesat. Orang yang mengerjakan puasa tiga hari tiga malam berendam dalam air comberan untuk meraih kesaktian bisa dikategorikan melaksanakan ajaran sesat. Sebab hal itu melanggar perkara yang termasuk kategori “ma’luumun minad diin bidh-dharury”.
Bagaimana cara menentukan paham atau aliran sesat? Untuk kaum Muslim di Indonesia, 10 kriteria paham/aliran sesat yang dirumuskan Majlis Ulama Indonesia sudah memadai untuk dijadikan pegangan: (1) Mengingkari salah satu rukun iman dan rukun Islam (2) Meyakini/mengikuti aqidah yg tidak sesuai dg adalli syar’i (al-Quran & as Sunnah) (3) Meyakini turunnya wahyu sesudah al-Qur’an (4) Mengingkari autentitas dan kebenaran al-Quran (5) Menafsirkan al-Quran yg tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir (6) Mengingkari kedudukan hadits nabi sebagai sumber ajaran Islam (7) Menghina, melecehkan/ atau merendahkan Nabi dan Rosul (8) Mengingkari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam sebagai Nabi dan Rasul terkahir (9) Mengubah, menambah dan mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syari’at (10) Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i.
Tantangan pluralisme
Di tengah serbuan paham liberalisme, kaum Muslim Indonesia kini diguyur dan dicekoki dengan aneka rupa pemahaman yang memuja pluralisme tanpa memandang penting perbedaan antara Tauhid dan syirik, antara haq dan bathil, antara iman dan kufur. Kaum Muslim diharuskan berpikir, bahwa semua warga negara punya hak yang sama untuk menyebarkan paham atau aliran apa pun. Negara pun diminta bersikap netral terhadap semua agama atau aliran. Pejabat diminta “cuek”, dan tidak peduli, apakah rakyatnya menyembah Tuhan atau menyembah Tuyul.
Kita masih ingat, bagaimana pada tahun 2010 lalu, ada sejumlah tokoh dan lembaga menggugat keabsahan UU No 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama. Gugatan itu – jika dikabulkan – akan berdampak pada “penyamaan” kedudukan semua agama dan aliran keagamaan atau pemikiran, dengan alasan “kebebasan beragama” dijamin oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 18.
Kata mereka, negara tidak boleh memihak, menganakemaskan atau menganaktirikan suatu kelompok masyarakat atas dasar keyakinannya. Negara tidak boleh terlibat dalam satu Tafsir keagamaan tertentu. Bahkan, sejumlah buku secara terbuka menuntut agar – demi Kebebasan Beragama — Indonesia juga memberikan kebebasan untuk semua agama, semua paham keagamaan, termasuk propaganda Ateisme. Seorang saksi ahli di Mahkamah Konstitusi,  pada 17 Februari 2010,  menyatakan, bahwa: “Persoalan utama dari Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 adalah bahwa negara ikut campur terlalu jauh dalam urusan agama. Idealnya negara kita atau negara tidak boleh ikut campur dalam urusan agama.”
Cara pandang “negara yang netral agama” seperti itu jelas tidak sesuai dengan UUD 1945 dan juga fakta yang terjadi di berbagai negara di dunia. Setiap agama atau paham, pasti menganggap bahwa agama atau pahamnya yang benar. Jika ada yang bertentangan dengan pahamnya, maka paham itu akan ditolaknya. Komunisme lahir sebagai sikap protes terhadap Kapitalisme. Sekularisme di Eropa lahir karena penolakan masyarakat Barat terhadap konsep teokrasi. Islam diturunkan Allah sebagai koreksi atas praktik kemusyrikan dan kezaliman yang terjadi di tengah umat manusia. Bahkan, seringkali kita membaca, kaum liberal pun menempatkan liberalisme sebagai koreksi terhadap fundamentalisme.
Dalam acara Mukernas Persistri tersebut, sejumlah peserta mengemukakan kekhawatiran mereka tentang merebaknya aliran Syiah di Indonesia. Kekhawatiran mereka itu bisa dimengerti. Sebab, Indonesia adalah negeri Muslim Sunni. Sudah banyak contoh, negeri Muslim yang terkoyak oleh konflik Sunni-Syii; bahkan akhirnya terjadi saling bunuh yang tiada berkesudahan. Seyogyanya, dalam era seperti ini, pihak Syiah menyadari dan tidak memaksakan diri untuk mengembangkan pahamnya di Indonesia. Sebab, cepat atau lambat, akan terjadi konflik yang melelahkan, seperti di Suriah, Yaman, Afghanistan, Pakistan, dan sebagainya.
Harusnya para pemimpin Muslim Sunni di Indonesia juga menyadari hal ini. Sikap sebagian pemimpin Muslim Sunni yang mendukung atau melegalkan pengembangan paham Syiah di Indonesia dan berbagai paham sesat, sejatinya laksana menumbuhkembangkan sel-sel kanker ganas, yang makin lama akan menggerogoti sel-sel tubuh yang sehat. Jika mereka cinta pada negeri Muslim terbesar ini, bukan seperti itu caranya. Mencegah jauh lebih baik daripada mengobati. Mengobati penyakit sedini mungkin jauh lebih bijak ketimbang membiarkan penyakit berkembang biak dengan semena-mena.
Dalam istilah tokoh Islam Indonesia, Muhammad Natsir, jika mau memadamkan api, maka padamkanlah api sewaktu kecil. Jangan nunggu api semakin membesar. Hingga kini, terbukti kaum Syiah di Indonesia masih tetap konsisten dengan kebencian dan laknatnya terhadap Sayyidina Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Aisyah r.a.  Berbagai buku dan situs-situs internet dengan gamblang menunjukkan perbedaan yang sangat fundamental antara ajaran-ajaran pokok kaum Syiah dengan kaum Muslim pada umumnya. Pada tahun 2013 lalu, MUI Pusat telah menerbitkan buku berjudul “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia” yang dengan mudah dapat dinduh dari berbagai situs online.
Selain aliran-aliran sesat yang terstruktur, ada juga paham sesat yang merebak luas di tengah masyarakat, bahkan di kalangan cendekiawan. Salah satu contoh adalah paham “relativisme” kebenaran. Di awal-awal Januari 2014, dalam beberapa acara dialog dengan guru-guru di sekolah Islam dan pesantren, masih ada saja pertanyaan seputar paham relativisme ini. Masih ada guru yang bertanya, “Bukankah manusia itu itu relatif pemikiranya. Yang mutlak hanya Tuhan. Maka, hanya Tuhan saja yang paham kebenaran, sehingga manusia tidak boleh merasa benar sendiri dengan pendapatnya, dengan menyesatkan atau menyalahkan pendapat orang lain.”
Kita sudah beberapa kali menjawab secara logis, kekeliruan paham relativisme kebenaran seperti itu. Cara berpikir relativisme sebenarnya paradoks  dengan ucapannya sendiri. Orang yang mengatakan, bahwa hanya Tuhan yang tahu kebenaran, sejatinya ia juga menvonis dirinya sendiri, bahwa ia tidak tahu yang benar. Sebab, dia bukan Tuhan. Ia manusia juga. Maka, mengapa ia merasa bahwa yang diucapkannya itu benar? Setidaknya, ia percaya bahwa huruf-huruf yang dikeluarkannya itu ia yakini kebenarannya. Ia yakin dengan ucapannya, tetapi orang lain dilarang untuk meyakini kebenaran yang diyakininya. Itu sikap yang paradoks. Inkonsisten antara cara berpikir dan ucapannya sendiri.
Jika konsisten dengan jalan pikiran relativismenya, harusnya ia berucap, “Hanya Tuhan dan saya yang tahu kebenaran!”
Di tengah hiruk pikuknya manusia-manusia yang memuja dan membela paham dan aliran  sesat saat ini, maka sebagai Muslim, setiap hari kita diperintahkan senantiasa berdoa kepada Allah, semoga kita selamat dari jalan yang sesat; agar kita senantiasa dibimbing oleh Allah untuk senantiasa mampu mengenali dan mengikuti jalan kebenaran dan tidak terjebak di jalan kesesatan yang tak lain adalah jalan setan. Amin Ya Rabbal Alamin.*/Cengkareng, 18 Januari 2014
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Rep: Administrator
Editor: Cholis Akbar