Pada hari ini, di pagi yang berbahagia ini, jutaan manusia mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid, sebagai proklamasi internasional atas kebesaran dan keagungan Allah, Rabbul ‘alamin, Pencipta dan Penguasa tunggal alam semesta. Dia-lah satu-satunya yang berhak disembah, dipuji dan dipuja.
Proklamasi akbar ini dilakukan sekaligus dalam rangka memperingati dua momentum (peristiwa) penting, yang menunjukkan kesatuan dan persatuan yang diikat oleh aqidah Islamiyah. Pertama, di kawasan Makkatul Mukarramah berkumpul kaum Muslimin dari seluruh penjuru dunia guna melaksanakan ibadah haji. Mereka berkumpul tanpa dibedakan bahasa, bangsa, status sosial, dan warna kulit. Kedua, di setiap sudut dari lima benua di dunia ini, serentak dilakukan shalat ‘Idul Adha dan penyembelihan hewan qurban.
Setiap kali kita mengenang dua peristiwa penting ini, kita tidak pernah lupa kisah manusia agung yang diutus oleh Allah SWT untuk menjadi Nabi dan Rasul, yakni Nabi Ibrahim as beserta keluarganya, Hajar dan Ismail as. Keagungan pribadinya membuat kita, bahkan Nabi Muhammad Saw, harus mampu mengambil keteladanan darinya. Allah SWT berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ ﴿٤﴾
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya”. (QS Al-Mumtahanah: 4).
Dari sekian banyak hal yang harus kita teladani dari Nabi Ibrahim beserta keluarga dan dari pelaksanaan ibadah haji yang sedang berlangsung di Tanah Suci, Makkah al-Mukarramah, paling tidak ada ada empat pelajaran yang sangat penting.
Pertama: Menyiapkan generasi yang shalih. Belajar dari profil kehidupan Nabi Ibrahim as membuat kita harus memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kesinambungan generasi shalih yang dapat memperjuangkan tegaknya nilai-nilai kebenaran. Hal ini karena ketika usia Nabi Ibrahim as sudah semakin tua, kerinduannya pada generasi pelanjut perjuangan menjadi semakin besar dan iapun terus berdoa agar Allah SWT menganugerahkan kepadanya keturunan yang shalih. Kondisi generasi muda kita sekarang boleh dibilang cukup memprihatinkan. Generasi Muda kita hari ini terlibat Kasus-kasus perzinaan, pemerkosaan, pembunuhan, perkelahian, pencurian, narkoba, AIDS, dan berbagai kasus kriminal lainnya adalah kasus-kasus yang banyak dilakukan oleh generasi muda.
Oleh karena itu, satu hal yang harus kita ingat bahwa anak merupakan anugerah sekaligus amanah. Disebut anugerah karena manusia tidak mampu dan tidak akan bisa menciptakan anak. Sebagai orang tua kita harus ingat bahwa anak itu bukan buatan kita, kita hanyalah sebab bagi lahirnya sang anak, karena itu tidak sedikit suami- istri yang sudah lama berumah tangga dan mendambakan lahirnya sang anak belum juga lahir anak yang didambakan itu karena anak itu bukan ia yang mencipta.
Di samping itu tidak sedikit orang tua yang menginginkan punya anak laki-laki tapi yang lahir ternyata perempuan atau menginginkan anak perempuan tapi yang lahir justru anak laki-laki, begitulah seterusnya. Sebagai anugerah dari Allah SWT, maka setiap orang tua harus mensyukuri kehadiran sang anak, apapun jenis kelaminnya dan bagaimanapun keadaan anak itu. Hal lain yang harus mendapat perhatian kita dalam kaitan dengan anak sebagai generasi pelanjut adalah bahwa anak merupakan amanah dari Allah SWT yang tidak boleh disia-siakan. Anak selanjutnya harus dididik dengan sebaik-baiknya sebagaimana Nabi Ibrahim dan Hajar telah mendidik anaknya Ismail dengan sedemikian baik.
Sebagai seorang ibu, Hajar memberikan perhatian kepada anaknya Ismail dengan begitu baik sehingga ia harus berlari bolak balik dari shafa ke marwa untuk mencari air minum. inilah yang kemudian disebut dengan sa’i dari shofa ke Marwa. Di samping itu, Allah SWT juga mengabadikan perhatian dari orang tua yang begitu besar kepada anaknya dengan apa yang disebut dengan hijr Ismail, yang berarti pangkuan Ismail, suatu tempat yang begitu mulia yang di situlah dahulu Ismail dipangku, diasuh, dididik dan dibesarkan oleh ibunya yaitu Hajar.
Untuk bisa melahirkan generasi yang shalih, yang harus shalih terlebih dahulu adalah kita sebagai orang tuanya. Bagaimana bisa orang tua mendambakan anaknya menjadi shalih bila ia sendiri tidak shalih? Mendidik anak harus dimulai dengan keteladanan yang baik, karenanya bagaimana mungkin orang tua bisa mendidik anak-anaknya dengan baik kalau ia tidak menjadi contoh yang baik. Tak cukup hanya bisa memberi contoh yang baik. Tapi harus menjadi contoh yang baik.
Kedua, menjauhkan diri dan keluarga dari segala bentuk keburukan dan melakukan segala bentuk kebaikan. Hikmah yang harus kita tangkap dari profil Nabi Ibrahim dan keluarganya serta dari ibadah haji yang harus ditunaikan oleh kaum muslimin sekali seumur hidupnya adalah menjauhi segala bentuk keburukan dan melakukan segala bentuk kebaikan. Kaitan ibadah haji bukan hanya bagi mereka yang sedang atau sudah menunaikan ibadah haji, tapi seluruh kaum muslimin terkait dengannya. Karenanya kemarin kita disunnahkan untuk puasa Arafah yang terkait langsung dengan wuquf di Arafah bagi sekitar empat juta jamaah haji. Oleh karena itu bila ibadah haji yang hanya berlangsung beberapa hari para jamaah harus membekali dirinya dengan ketaqwaan kepada Allah SWT, apalagi dengan kehidupan kita yang berlangsung bertahun-tahun, Allah SWT berfirman:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللّهُ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ ﴿١٩٧﴾
“Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh mengerjakan rafats (perkataan maupun perbuatan yang bersifat seksual), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Dan berbekallah kamu, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa, dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal “ (QS Al-Baqarah: 197)
Taqwa yang menjadi bekal untuk menjalani kehidupan ini merupakan sesuatu yang sangat penting, karenanya taqwa harus selalu melekat dalam jiwa setiap muslim. Itu sebabnya taqwa disebut dengan istilah libasut taqwa (pakaian taqwa), karena taqwa menjadi pakaian rohani manusia, sedangkan ke mana pergi, bahkan di manapun manusia berada ia harus selalu menggunakan pakaian secara jasmaniah seperti baju, celana, gamis, sarung dan sebagainya. Namun, pakaian yang paling baik adalah taqwa. Karenanya betapa hina manusia yang tidak bertaqwa dalam hidupnya di dunia ini meskipun pakaian jasmani yang dimiliki dan dikenakannya sangat bagus dengan harga yang sangat mahal sekalipun. Dalam kondisi masyarakat dan bangsa yang sulit, seharusnya ketaqwaan yang diperkokoh, karena dengan ketaqwaan akan ada jalan keluar dari setiap persoalan, termasuk persoalan ekonomi sedangkan bila banyak urusan yang sulit dilaksanakan, maka Allah SWT akan memudahkannya.
Ketiga, selalu istiqamah menegakkan kebenaran. Profil Nabi Ibrahim as dan keluarganya memberikan pelajaran kepada kita semua akan keharusan mempertahankan dan memperkokoh jati diri sebagai seorang mukmin yang selalu berusaha untuk berada pada jalan hidup yang benar, apapun tantangan, keadaan dan bagaimanapun situasi serta kondisinya. Begitulah memang yang telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim as dan keluarganya dengan hujjah, argumentasi atau alasan yang kuat. Dalam sejarah Nabi Ibrahim kita dapati beliau menghancurkan berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat di sekitarnya, saat itu Ibrahim adalah seorang anak remaja, hal ini tercermin dalam firman Allah SWT yang menceritakan soal ini:
فَجَعَلَهُمْ جُذَاذاً إِلَّا كَبِيراً لَّهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ ﴿٥٨﴾ قَالُوا مَن فَعَلَ هَذَا بِآلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ ﴿٥٩﴾ قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ ﴿٦٠﴾
“Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim”. Mereka berkata: Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini, namanya Ibrahim”. (QS Al-Anbiya’: 58-60).
Untuk mempertahankan jati diri yang luhur itu, Ibrahim bahkan siap menanggung resiko dihukum bakar oleh massa ketika itu, kemudian Allah menyelamatkannya. Bahkan selanjutnya Nabi Ibrahim terus pergi meninggalkan negerinya untuyk berjuang sampai mati meskipun harus berjuang di wilayah yang lain, ia menyebut dirinya sebagai orang yang pergi kepada Allah SWT, Tuhannya yang Esa. Dalam hal ini Nabi Ibrahim menyatakan di hadapan orang-orang kafir:
وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ ﴿٩٩﴾
“Dan Ibrahim berkata: Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS Ash-Shaaffat: 99).
Oleh karena itu, Jati diri luhur yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim as tidak hanya saat ia masih muda belia. Tapi bandingkanlah dengan suatu peristiwa yang amat menakjubkan, saat Ibrahim diperintah oleh Allah SWT untuk menyembelih anaknya Ismail, saat itu Ibrahim sudah sangat tua, sedangkan Ismail adalah anak yang sangat didambakan sejak lama. Maka Ibrahim pun melaksanakan perintah Allah SWT yang terasa lebih berat dari sekedar menghancurkan berhala-berhala di masa mudanya. Ini menunjukkan kepada kita bahwa Ibrahim memiliki idealisme dari muda sampai tua dan inilah yang amat dibutuhkan dalam kehidupan di negeri kita, jangan sampai ada generasi yang pada masa mudanya menentang kezaliman, tapi ketika ia berkuasa pada usia yang lebih tua justru ia sendiri yang melakukan kezaliman yang dahulu ditentangnya itu, jangan sampai ada generasi yang semasa muda menentang korupsi, tapi saat ia berkuasa atau dipercaya menjadi pegawai, pejabat atau wakil rakyat di usianya yang sudah semakin tua justru ia sendiri yang melakukan korupsi padahal dahulu sangat ditentangnya.
Dalam kehidupan kita sekarang, kita dapati banyak orang yang tidak mampu mempertahankan idealisme atau dengan kata lain tidak istiqomah sehingga apa yang dahulu diucapkan tidak tercermin dalam langkah dan kebijakan hidup yang ditempuhnya, apalagi bila hal itu dilakukan karena terpengaruh oleh sikap dan prilaku orang lain yang tidak baik. Rasulullah Saw mengingatkan:
لاَتَكُوْنُوْا اِمَّعَةً تَقُوْلُوْنَ: اِنْ اَحْسَنَ النَّاسُ اَحْسَنَّا وَاِنْ ظَلَمُوْاظَلَمْنَا وَلكِنْ وَطِّنُوْا اَنْفُسَكُمْ اِنْ اَحْسَنَ النَّاسُ اَنْ تُحْسِنُوْا وَاِنْ اَسَاءُوْا اَنْ لاَتَظْلِمُوْا.( رواه الترمذي )
“Janganlah kamu menjadi orang yang ikut-ikutan. Kamu berprinsip kalau orang lain baik, kami pun akan berbuat baik dan kalau mereka berbuat zalim, kami pun akan berbuat zalim. Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berprinsip, kalau orang lain berbuat kebaikan maka berbuatlah kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan maka janganlah kamu turut melakukannya.” (HR. Tirmidzi).
Keempat, waspada terhadap godaan syaitan. Ini merupakan pelajaran penting dari sekian banyak hikmah dari kehidupan Nabi Ibrahim dan keluarganya serta dari ibadah haji yang dilaksanakan oleh kaum muslimin. Hal ini karena ketika manusia ingin menjadi muslim yang sejati, kendala besar yang akan dihadapinya adalah godaan syaitan. Karena itu, Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS Al-Baqarah: 208).
Oleh karena itu kewaspadaan dan perlawanan kita terhadap godaan syaitan harus selalu membara. Ibrahim, Hajar dan Ismail berusaha mengusir syaitan dengan melempari batu yang kemudian dilambangkan dalam ibadah haji dengan melontar jumroh. Ini juga berarti setiap muslim harus kuat permusuhannya kepada syaitan meskipun harus dengan bersusah payah sebagaimana jamaah haji mau bersusah payah saat melontar jumroh. Bahkan melontar jumrah diakui oleh para jamaah haji sebagai rangkaian ibadah haji yang paling berat dengan risiko yang paling besar. Untuk itulah, di dalam Islam kita sangat ditekankan untuk selalu berlindung kepada Allah SWT dari godaan-godaan syaitan, sehingga untuk membaca Al-Quran yang sudah jelas-jelas baik, kita tetap harus berlindung kepada Allah SWT dari gangguan syaitan dengan membaca ta’awudz. Namun yang amat disayangkan adalah banyak di antara kita yang untuk membaca Al-Quran berlindung kepada Allah dari gangguan syaitan, tapi untuk berdagang tidak, untuk ke kantor tidak, untuk ke parlemen tidak, untuk ke istana tidak, untuk berumah tangga tidak dan begitulah seterusnya, akhirnya banyak di antara kita merasa enjoy mengikuti godaan setan saat di pasar, di kantor, di gedung DPR, di jalan, di hotel dan di tempat-tempat lainnya, malah akrab dengan syetan.
Perlu diketahui bahwa di akhirat nanti Syaitan tidak mau disalahkan oleh manusia, tapi manusia itulah yang harus menyalahkan dirinya sendiri. Allah SWT menceritakan masalah ini dalam firman-Nya:
وَقَالَ الشَّيْطَانُ لَمَّا قُضِيَ الأَمْرُ إِنَّ اللّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدتُّكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ وَمَا كَانَ لِيَ عَلَيْكُم مِّن سُلْطَانٍ إِلاَّ أَن دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِي فَلاَ تَلُومُونِي وَلُومُواْ أَنفُسَكُم مَّا أَنَاْ بِمُصْرِخِكُمْ وَمَا أَنتُمْ بِمُصْرِخِيَّ إِنِّي كَفَرْتُ بِمَا أَشْرَكْتُمُونِ مِن قَبْلُ إِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿٢٢﴾
“Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksa yang pedih”. (QS 14:22).
Demikianlah Nabi Ibrahim beserta keluarganya telah memberi contoh kepada kita semua, yang kisahnya selalu kita peringati setiap tahun sekali. Kini, marilah kita dengar apa pesan Nabi Ibrahim di akhir hayatnya:
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلاَ تَمُوتُنَّ إَلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ ﴿١٣٢﴾
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya, begitu pula nabi Ya’qub: ‘Wahai anak-anakku sesungguhnya Allah telah memilih untuk kamu agama (Islam) ini, maka janganlah kalian mati kecuali kalian benar-benar menjadi orang Islam”. (Al-Baqarah: 132).
Demikianlah pelajaran yang bisa kita petik dari perjalanan hidup Nabiyullah Ibrahim as. Semoga kiranya kita semua bisa meneladaninya dengan baik,sehingga kita menjadi orang-orang yang sukses menempuh kehidupan yang penuh tantangan ini.