BELUM lama ini saya menemukan sebuah artikel di internet. Artikel tersebut mengulas tentang peran wanita dalam dunia kerja. Artikel yang berjudul “11 Alasan Sah Kenapa Cewek Perlu Bekerja, Bukan Cuma Jadi Ibu Rumah Tangga” cukup menggelitik. Setidaknya ada beberapa poin yang menurut saya menarik dicermati.
Diantaranya disebutkan bahwa budaya kita masih kental dengan patriarki, yaitu menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial dan dianggap memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak, dan harta benda. Itulah sebabnya, kata artikel tersebut, kita seringkali menyepelekan perempuan.
Mengutip survei sebuah perusahan riset, GallUp, yang berdiri sejak 1969, bahwa pada 1000 responden, artikel itu menyebutkan, tercatat 28% kasus depresi dialami para ibu rumah tangga sedangkan hanya sekitar 17% yang dialami ibu rumah tangga yang bekerja.
Elizabeth Mendes, kepala editor dari Gallup dalam artikel itu bilang, bahwa pekerjaan memang bisa jadi sumber kebahagiaan bagi para ibu. Hal ini lantaran kesibukan di tempat kerja bisa membuat para ibu terhindar dari emosi-emosi negatif seperti marah, sedih, stres, atau khawatir.
Artikel itu juga merilis penelitian yang dipublikasikan American Psychological Association yang menemukan sedikit bukti bahwa keputusan ibu untuk bekerja akan mempengaruhi perkembangan perilaku anak, menjadi nakal misalnya. Argumen ini untuk mematahkan kepercayaan bahwa pilihan ibu untuk bekerja bisa mempengaruhi pertumbuhan emosi anak.
Kesimpulannya, artikel ini mendorong wanita untuk bekerja di luar rumah. Menurutnya, selama ibu punya jam kerja yang normal dan bisa menyeimbangkan antara pekerjaan dan komitmen sebagai orang tua, keputusan untuk bekerja bukanlah masalah bagi tumbuh kembang emosi anak.
Anomali
Tentu kita boleh saja tidak setuju dengan pandangan di atas. Apalagi data studi kasus yang diajukan bersumber dari perilaku hidup di Amerika Serikat. Kultur sosial di Barat tentu saja berbeda dengan kondisi dan tradisi kita di Indonesia dengan adat ketimurannya.
Agama kita seseunggunya telah memiliki panduan paripurna yang mengatur bagaimana sebenarnya kedudukan laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya Islam tidak membeda-bedakan kedudukan antara pria dan wanita. Kita semua sama derajatnya di sisi Allah Subhanahu Wata’ala, yang membedakan adalah takwanya.
Dalam konteks apa yang dikemukakan di awal, Allah Ta’ala denan terang memerintahkan para wanita muslim untuk tetap menjaga kehormatannya dengan tidak meninggalkan rumah sebagaimana dalam firman-Nya pada Surah Al Ahzab ayat 33:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan perihal ayat ini yakni larangan kepada wanita atau para istri untuk tidak meninggalkan rumah kecuali ada kebutuhan dan alasan yang dibenarkan syariat. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/409).
Dalam Islam, kedudukan laki-laki adalah sebagai kepala keluarga. Sehingga, di pundak laki-lakilah tanggung jawab utama pemenuhan kebutuhan lahir batin keluarga. Agama kita juga sangat proporsional dalam membagi tugas rumah tangga di mana sang bapak selaku kepala keluarga mengemban utama dalam di luar rumah seperti mencari nafkah. Sementara ibu memiliki tugas utama yang mulia, yakni memanajeri segala urusan kerumahtanggaan.
Proporsionalitas yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala tersebut tak lain adalah merupakan bangunan relasi gender yang adil, sepadu, dan kolaboratif. Adapun perspektif absurd yang dikonstruksi oleh Barat dilandasi oleh sentimen gender yang menuntut persamaan dalam segala hal. Sentimen yang dipengaruhi oleh sejarah kelam Barat itu kemudian lebih menyiratkan siklus kontestasi serta kompetisi yang bertujuan mencerabut fitrah kemanusiaan dan kewanitaan.
Padahal, Allah Ta’ala dengan jelas telah menerangkan bahwa secara lahiriah antara laki-laki dan perempuan itu berbeda. Secara fisik, laki-laki lebih kuat ketimbang wanita. Karenanya, laki-laki di dalam Islam berkewajiban mencari nafkah. Norma-norma ini terkandung dalam firman-Nya:
"Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34).
WAH dan SAH!
Memang, bekerja adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, tapi Islam juga tidak melarang wanita untuk bekerja. Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syariat.
Dinukil dari perkataan ulama terkemuka, Syaikh Abdul Aziz Bin Baz, beliau mengatakan “Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan bisnis, karena Allah jalla wa’ala mensyariatkan dan memerintahkan hambanya untuk bekerja sebagaimana dalam firman-Nya:
“Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“ (QS. At-Taubah:105)
Dalam sejumlah literatur, dijelaskan bahwasanya perintah Allah dalam ayat di atas mencakup pria dan wanita. Bahkan dalam firman-Nya yang lain, Allah Ta’aala dengan terang memerintahkan umat Islam untuk berbisnis. Dia yang Maha Mulia memerintahkan hamba-Nya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk selalu berikhtiar dan bekerja, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela diantara kalian” (QS. An-Nisa:29).
Kendati demikian, tentu saja tetap ada koridor dan adab Islam yang mesti diperhatikan dalam mencari nafkah atau berbisnis baik dalam konteks berniaga ataupun menjual jasa keahlian yang dimiliki.
Kegiatan usaha sebagaimana diatur dalam agama kita harus bebas dari perkara mungkar. Termasuk dalam hal ini, seorang wanita yang bekerja hendaknya tidak berikhtilath (bercampur) dengan pria dan tidak pula menimbulkan fitnah.
Serta, tetap dalam panduan syariah di mana pekerjaan yang dilakoni muslimah jangan sampai mengganggu kewajiban utamanya dalam urusan dalam rumah, ada izin suami, dan hendaknya pekerjaan yang digeluti sesuai dengan tabiat wanita seperti dokter, pengajar, perawat, penulis artikel, buku, dan lain sebagainya.
Namun, untuk tetap terjaganya kehormatan dan tak terbengkalainya kewajiban-kewajiban utama, ulama mendorong mukminat yang memiliki minat serta bakat bekerja menambah nafkah keluarga untuk terlebih dahulu mencari pekerjaan yang bisa dikerjakan di dalam rumah.
Saat ini salah satu yang mungkin dilakukan muslimah untuk bekerja tanpa harus rutin keluar rumah adalah berbisnis online. Perkembangan teknologi informasi dan internet saat ini begitu massif. Ini beriring dengan pertumbuhan bisnis di dunia virtual. Sementara pengguna internet di Indonesia sendiri jumlahnya kini lebih 80 juta dan lebih 3 miliar penggunanya di seluruh dunia dari 7 miliar penduduk dunia.
Tidak ada salahnya muslimah untuk memanfaatkan peluang ini untuk bekerja tanpa harus keluar rumah. Selain menjadi muslimah WAH (Work at Home), dengan berbinis lewat internet, ini juga SAH!. Stay at Home!.
Umumnya umat Islam, khususnya muslimah, masih antipati terhadap teknologi internet bahkan cenderung menjadi pengguna pasif. Memang, internet bagai dua sisi mata pisau. Ada negatifnya, tapi sisi positifnya juga tidak sedikit. Namun kebanyakan kita masih terpaku pada persepsi yang relatif keliru bahwa internet berbahaya sehingga harus dijauhi.
Padahal, tidaklah demikian. Faktanya, hampir semua aspek duniawi dalam hidup kita selalu ada sisi negatifnya yang dianggap berbahaya. Sehingga kalau internet dijauhi karena banyak mudharat membahayakan, sebaiknya kita juga menghindari naik motor karena sewaktu-waktu kita bisa saja jatuh atau tertabrak. Jadi, intinya, mari menjadi pengguna internet yang pintar, cerdas, dan bijak.
Tidak sedikit muslimah yang bisa sukses berbisnis di dunia maya tanpa harus meninggalkan kewajiban di rumah. Ada yang berjualan busana muslim yang beromset ratusan juta rupiah, ada yang menjadi penulis artikel, ada yang berjualan kue dalam kemasan, bahkan ada yang menciptakan aplikasi online untuk umat.
Tetapi, tentu saja, untuk membangun usaha rintisan (startup) internet membutuhkan konsep yang bagus serta komitmen yang kuat. Sebab, setiap usaha apa pun yang dilakukan, selalu menuntut adanya inovasi dan kerja keras terus menerus agar tetap familiar dan disukai pengguna.
Lebih dari itu, kita dituntut untuk membangun relasi, setidaknya dengan sahabat-sahabat kita yang memiliki visi dan minat bisnis yang sama. Semoga dari situ, tablet /iPad/ smartphone yang sehari-hari kita pegang tidak cuma untuk update status ataupun foto selfie, tapi juga mulai berdiring melaporkan notifikasi transaksi bisnis halal dan thayyib. Insya Allah. */
_______________
AINUDDIN CHALIK, penulis adalah wartawan Hidayatullah.com. Pasca sunting artikel ini juga telah dimuat di Majalah Hidayatullah Edisi Maret 2015.